
Ikhlas itu adalah cara, bukan suara, ketika kita melakukan sesuatu bukan suara yang kita tuntut unuk ikhlas, tapi hati kita dan cara kita harus ikhlas. Amal ibadah kita kepada Allah juga harus kita tuntut untuk ihlas karena Allah, Bukan karena makhluk-makhluk-Nya, berikut ini ada artikel yang bisa menjadikan pedoman dan bahan instrospeksi diri kita mengenai ikhlas. Artikel ini saya kutip dari www.hidayatullah.com
KETIKA
seseorang melakukan kebaikan namun tidak diiringi dengan keikhlasan maka bisa
dipastikan bahwa ia akan senantiasa diliputi perasaan kecewa, lebih-lebih kala
kebaikan yang dilakukannya tidak diapresiasi orang lain. Ia bahkan akan
mengalami penurunan motivasi yang sangat drastis, hingga tidak ada lagi
semangat sedikitpun untuk melakukan kebaikan.
Sebaliknya,
jika ada apresiasi dari orang lain, semangat melakukan kebaikan akan kembali
meningkat tajam disertai gairah yang sangat luar biasa. Akan tetapi, motivasi
yang demikian, sebenarnya tidak mendatangkan apa-apa selain hanya menipu diri
sendiri. Sebab, kita beramal tidak lagi karena Allah tapi karena manusia.
Padahal, Allah
Ta’ala, memerintahkan kita beramal baik hanya karena-Nya. Sebagaimana yang
Allah Ta’ala firmankan;
قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصاً لَّهُ دِينِي
“Katakanlah: “Hanya Allah saja yang aku
sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.” (QS. Az-Zumar [39]: 14).
Mengenai
bahasan ini, Syeikh Musthafa Masyhur dalam bukunya Fiqh Dakwah Jilid I mengutip
pendapat seorang inspirator dari negeri piramida, Mesir, yakni Hasan Al-Banna.
Menurut Hasan
Al-Banna, ikhlas itu adalah menunjukkan semua ucapan, amal dan jihadnya hanya
kepada Allah semata. Karena mencari ridha dan kebaikan pahala-Nya, tapa
mengharapkan keuntungan popularitas, kehormatan, reputasi, kemajuan dan
keterbelakangan. Dengan keikhlasan ini seseorang akan menjadi pengawal fikrah
dan aqidah. Bukan pengawal kepentingan dan keberuntungan.
Dengan
demikian, maka sudah sepatutnya seorang Muslim senantiasa menimbang-nimbang aktivitas
yang dilakukannya selama ini, apakah sudah murni karena Allah atau ada
pretensi, interes, atau kepentingan semu lainnya?
Sebab jika
tidak, maka amat disayangkan, amal baik yang dilakukan menjadi tidak bernilai
apa-apa di hadapan Allah Ta’ala. Sebagaimana yang tergambar dalam satu hadits
Nabi Muhammad Shallallahu Alayhi Wasallam.
“Dan dari Abu Musa Abdullah bin Qays
al-‘Asy’ari radhiyallahu anhu berkata, ‘Rasulullah pernah ditanya tentang
seseorang yang berperang karena ingin dikatakan berani, fanatisme golongan dan
riya’. Manakah yang bernilai sabilillah? Rasulullah menjawab, ‘Barangsiapa yang
berperang agar kalimat Allah bisa ditegakkan maka sesungguhnya ia telah
berperang di jalan Allah.” (HR. Bukhari Muslim).
Dan,
demikianlah sesungguhnya inti dari hidup ini, yakni ikhlas karena mengharap
ridha-Nya, bukan yang lain. Sebagaimana ditegaskan Allah di dalam Al-Qur’an;
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ
لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus.” (QS:
Al-Bayyinah [98]: 5).
Oleh karena
itu, mari senantiasa perbaiki diri, terutama keikhlasan diri kita dalam
menjalani hidup dan kehidupan ini. Sebab, ikhlas inilah sebaik-baik jalan bagi
setiap Muslim untuk benar-benar bisa mencapai kebahagiaan yang hakiki. Semoga
Allah memberikan kekuatan diri kita untuk terus ikhlas dalam amal sholeh,
dakwah dan jihad fii sabilillah.
Sumber :
Ditulis Dan Diterbitkan Oleh : www.hidayatullah.com/kajian gaya hidup muslim
0 komentar