
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya) :
“Alif lam mim. Apakah manusia itu mengira
bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan, ‘Kami beriman’ lantas
mereka pun tidak diuji?” (QS. al-Ankabut: 1-2).
Allah ta’ala juga berfirman
(yang artinya) :
“Apakah kalian
mengira bahwa kalian akan masuk surga begitu saja sementara Allah belum
mengetahui -menunjukkan- siapakah orang-orang yang bersungguh-sungguh di antara
kalian, dan juga siapakah orang-orang yang bersabar.” (QS. Ali Imran: 142)
Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata ketika
menafsirkan ayat dalam surat Ali Imran di atas,
“Janganlah kalian
mengira dan jangan pernah terbetik dalam benak kalian bahwa kalian akan masuk
surga begitu saja tanpa menghadapi kesulitan dan menanggung berbagai hal yang
tidak menyenangkan tatkala menapaki jalan Allah dan berjalan mencari
keridhaan-Nya. Sesungguhnya surga itu adalah cita-cita tertinggi dan tujuan
paling agung yang membuat orang-orang saling berlomba dalam kebaikan. Semakin
besar cita-cita maka semakin besar pula sarana untuk meraihnya begitu pula
upaya yang mengantarkan ke sana. Tidak mungkin sampai pada kenyamanan kecuali
dengan meninggalkan sikap santai-santai. Tidak akan digapai kenikmatan yang
hakiki/surga, kecuali dengan meninggalkan (tidak memuja) kenikmatan yang
semu/dunia. Hanya saja perkara-perkara yang tidak menyenangkan di dunia yang
dialami seorang hamba di jalan Allah, tatkala nafsunya telah dia latih dan
gembleng untuk menghadapinya serta dia sangat memahami akibat baik yang akan
diperoleh sesudahnya, maka niscaya itu semua akan berubah menjadi karunia yang
menggembirakan bagi orang-orang yang memiliki bashirah, mereka tidak peduli
dengan itu semua. Itulah keutamaan dari Allah yang diberikan-Nya kepada siapa
pun yang dikehendaki-Nya.”
(Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 150)
Sementara itu, kesabaran menerima cobaan dan kesungguhan dalam
menjalani ketaatan hanya akan lahir dari keyakinan yang kokoh terhunjam. Allah
ta’ala berfirman (yang artinya),
“Tidaklah menimpa suatu musibah kecuali dengan
izin Allah, barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki
hatinya.”
(QS. at-Taghabun: 11).
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,
“Dia
adalah seorang hamba yang tertimpa musibah lalu dia mengetahui/meyakini
bahwasanya musibah itu datang dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha dan
pasrah.”
(HR. Said bin Manshur, lihat al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal.
208).
Tatkala seorang hamba mampu menyempurnakan keyakinan di dalam
jiwanya maka niscaya musibah yang menimpa akan berubah menjadi nikmat, dan
cobaan yang dialami akan berubah menjadi anugerah (lihat al-’Ilmu Fadhluhu wa
Syarafuhu, hal. 208).
Ibnul Qayyim rahimahullah menukil penjelasan para ulama
bahwa ciri orang yang telah memiliki keyakinan yang kokoh terhunjam itu adalah ;
1 Dia senantiasa menengok/ingat kepada Allah pada setiap kejadian yang
dialaminya,
2 Dia selalu kembali kepada-Nya pada setiap urusan,
3 Dia
senantiasa memohon pertolongan kepada-Nya dalam setiap keadaan, dan
4 Dia
senantiasa mengharapkan wajah-Nya dalam setiap gerakan maupun diam
(lihat
al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 208).
Itu artinya apabila seorang hamba ingin keluar dari ketidaksadaran
ini, hendaknya dia betul-betul memahami kedua buah ilmu tersebut.
Pertama, ilmu tentang hakekat dirinya beserta segala kekurangan,
kelemahan dan keterbatasannya.
Kedua, ilmu tentang hak dan keagungan Rabbnya beserta
kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Kedua ilmu itulah yang akan
mengokohkan akar keyakinan di dalam hatinya dan menegakkan pohon kesabaran di
dalam hidupnya
0 komentar